Outlook Ekonomi Indonesia 2018 di Tahun Politik

December 22, 2017, oleh: superadmin

[su_dropcap]Y[/su_dropcap]ogyakarta—Jelas bahwa ekonomi global telah menunjukkan tanda pemulihan bertahap selama kuartal pertama 2016 sampai kuartal kedua 2017. Perekonomian dunia terbesar, AS mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil yang 2,2 persen pada kuartal kedua 2017 sehingga diprediksi oleh Bank Dunia bahwa ekonomi AS mungkin akan tumbuh menjadi 2,9 persen tahun depan sementara China yang nampaknya memiliki pertumbuhan konstan sepanjang 2017 pada 6,9 persen diproyeksikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) tumbuh pada 6,5 ​​persen. Kondisi makroekonomi tersebut penting untuk meramalkan kondisi ekonomi Indonesia di masa depan yang mengalami pertumbuhan yang lamban dan diperkirakan akan meningkat menjadi 5,1 persen pada tahun 2018.

Hal tersebut disampaikan oleh Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dalam IPIEF Dialogue and Intellectual Discourse (IDEAS) yang diselenggarakan oleh Islamic Economics Student Association (IESTAC) pada tanggal 19 Desember 2017. Bertempat di Amfiteater Gedung 5 KH Ibrahim, agenda ini dihadiri oleh mahasiswa Jurusan Ekonomi dan International Program for Islamic Economics and Finance (IPIEF).

“Saat memprediksi ekonomi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di tahun depan, kita harus menganalisis secara seksama harga komoditas termasuk minyak mentah, batubara dan gas karena perannya yang sangat penting dalam menentukan ekonomi nasional kita. Jika harga komoditas naik, kondisi ekonomi nampaknya akan berkembang, “kata Bhima saat menekankan pentingnya komoditas dalam memproyeksikan kondisi makroekonomi.

Dalam penjelasannya, Bhima juga menjelaskan banyak tantangan menakutkan yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia di tahun depan, yang mencakup pertumbuhan industri nasional terutama sektor manufaktur dan pertanian walaupun sektor lainnya meningkat, peningkatan yang signifikan dari sektor jasa yang dapat menyebabkan Deindustrialisasi awal dan diikuti oleh bonus demografi yang bisa berupa bencana atau peluang. Dia juga menambahkan, dengan mengatakan: “Sektor industri dan pertanian mencapai tingkat rendah sementara sektor jasa telah berkembang pesat. Dapat dikatakan bahwa kondisi seperti itu dapat mengakibatkan pengangguran lebih tinggi karena sektor jasa tidak memerlukan sejumlah besar pekerja untuk dipekerjakan. Akibatnya, ini bisa memperburuk kondisi ekonomi saat ini. “

“Indonesia sekarang tertinggal dalam hal indeks daya saing dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura; keduanya berada di wilayah yang sama dengan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga menghadapi penurunan konsumsi yang besar karena banyak perusahaan ritel terus menutup gerainya dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang berpendapat bahwa fenomena seperti itu menggeser konsumsi karena masyarakat sepertinya bisa membeli segala sesuatu secara online, tapi saya merasa ragu dengan pernyataan itu. Argumen yang masuk akal yang bisa dikerahkan adalah mungkin memang benar adanya peningkatan transaksi online, namun pangsa E-commerce dibandingkan dengan total ritel nasional kurang dari satu persen. Jadi, mungkin tidak tepat untuk menyatakan bahwa ada pergeseran konsumsi dari ritel ke e-commerce, “Bhima menekankan isu-isu yang terkait erat dengan kondisi terbaru. Menurutnya, kenaikan pajak merupakan alasan utama mengapa masyarakat nampaknya mengurangi konsumsi.

Untuk meramalkan ekonomi Indonesia, tidak dapat dipungkiri mempertimbangkan keadaan geopolitik baru-baru ini: Reformasi pajak di AS oleh Trump, ketidakstabilan politik di Timur Tengah, kemerdekaan Catalonia, dan konflik nuklir antara Korea Utara dan AS. Faktor-faktor tersebut dianggap penting karena saling ketergantungan antara situasi politik dan stabilitas ekonomi. Sementara itu, situasi domestik akan memainkan peran penting dalam menentukan kondisi ekonomi 2018 karena akan terjadi kenaikan harga komoditas dan stimulus fiskal dalam bentuk Dana Desa dan Bansos. [Aw]